April 10, 2010

kala nafsu memburu

Di sebuah bar yang pengap, seorang pria mabuk tiba-tiba mencelat ke arah pelayan perempuan berdada besar, memeluk, menciuminya dengan nafas memburu kemudian berbisik dengan suara berat, “hei sayang… ini aku, masih ingat? aku tuhan… ummmmhhhhfffff”.

Di sebuah rumah peribadatan, seorang pria tua tiba-tiba menarik tangan wanita muda ke dalam ruangan, menutup pintu kemudian menguncinya. Wanita itu tampak tegang, dahinya berkeringat dan nafasnya tak beraturan saat pria tua, yang disebutnya "guru" itu, mencengkeram jari-jarinya sambil menatap lurus dan tajam, "wahai wanita mulia, kau telah terpilih menjadi ibu dari anak-anak suci tuhan yang akan terlahir memimpin dunia...".

Di sebuah warung remang-remang, seorang lelaki kumal bau keringat duduk sambil menghisap rokoknya dalam-dalam, memandangi perempuan nakal bergincu tebal yang menggelayuti lengan kekarnya. Ia berbisik, "aku lagi nggak ada duit, gimana dong yang?"

6 komentar:

Anonim mengatakan...

tuhan online ga?

sipunD mengatakan...

yg mana? org mabuk itu? hehe..

Cafe Baca mengatakan...

aku pounya pengalaman
ini sedikit tentang konsep sederhana di dalam Al-Quran

Ketemu Tuhan ketika ber-Islam
Aunur Rohman*

Telah banyak pemikiran berkembang yang mengkaji tentang agama. Kiranya meliputi segala aspek yang dimiliki oleh agama baik segi teologis, politik, hukum, pendidikan dan lain sebagainya. Salah satu yang menarik bagi saya adalah tulisan Asghar Ali E. tentang agama pembebasan. Satu pertanyaan besar bagiku (dulu) apakah benar agama dapat membebaskan kehidupan manusia?. Sedang asumsi selalu mengatakan, agama tetap tidak akan pernah dapat memberi kebebasan dengan segala perintah-perintah yang datang dengan seenaknya tanpa mermperdulikan latar belakang manusia yang mengikutinya. Munculnya ide agama sebagai pembebasan hanya berlaku bagi orang-orang yang takut mengkritisi Tuhan dengan perintah-perintahnya, takut masuk neraka, takut tidak kebagian jatah kavlingan tempat di surga, takut dikucilkan tetangga atau bahkan takut tidak diakui sebagai warga negara Indonesia sebagaimana telah tertuang pada pasal pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ketakutan-ketakutan seperti itu ada, sebagai sebuah konsekuensi yang wajar atas model keberagamaan yang lahir bukan karena benar-benar sadar akan kebutuhan beragama. Agama dianggap sebagai suatu yang sempurna (absolute), tanpa melihat fungsi agama untuk siapa. Sehingga garapan Agama menjadi menyempit, dibatasi pada wilayah-wilayah mistis dan benar menjadikan agama sangat membelenggu kehidupan.
Beragama sebagai kebutuhan, tidak akan pernah dirasakan kecuali dalam areal kampanye keagamaan seperti khutbah, ceramah atau orasi dunia ideology mistis di masjid-masjid, undangan pernikahan, peringatan hari-hari agama yang tidak lain hanya menjadi ladang mendapatkan keuntungan material penceramah, bukan berlandaskan atas memasyarakatkan kebenaran beragama.
Itulah sekilas lalu tentang pemahaman agama yang parsial, namun kini (meskipun mending) telah menganggap agama sebagai kebutuhan dalam menjalani kehidupan dunia untuk tunduk dalam system pemerintahan Tuhan. Ketundukan ini tidak hanya didapat dari semata-mata melakukan karena kewajiban, namun harus dimulai dari jiwa kritis dalam merasakan maksud dari segala macam perintah-perintah agama. Kesadaran ini sebenarnnya sudah ada dalam diri kita. Kesadaran ini didapat jika kita benar-benar memahami konsep kemanusiaan yang menjadikan manusia hidup di dunia ini. Utuk itulah, kesadaran harus dibangun melalui berfikir benar tentang problem kemanusiaan atau apa kebutuhan dasar manusia?. Tetapi lebih awal lagi siapakah manusia? Anehnya, Islam telah menyelaraskan apa yang manusia pikirkan tentang kehidupan ini. Untuk itu, pengalaman ini aku bagi pada siapapun yang ingin menikmati petualangannya dalam kebingungan mencari Tuhan untuk mempertimbangkan apa yang aku dapatkan dalam Islam.

A. Apa itu manusia?.
Terlepas dari ego, arogansi dan parameter obyektifitas manusia, semua manusia sepakat bahwa manusia adalah makhluq terbaik yang ada di alam ini. Al-Qur’an juga menegaskan hal ini:
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan , Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.(17:70).
Kalangan filosof mendefinikan manusia sebagai hewan yang berakal. Dalam arti, manusia dan binatang secara kualitas adalah sama, tapi hanya dibedakan oleh akalnya. Akal bukan secara keberadaan, tapi kualitas atau fungsi akal.
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya(At-tin, 95:4-5)
Manusia yang punya potensi, tapi tidak diberdayakan dan memilih jalan sebagaimana mahkluq lain menjalani kehidupannya, maka manusia seperti ini tidak mempunyai keistimewaan bahkan lebih rendah dari binatang. Dalam versi Al-qur’an juga menegaskan:
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami dan mereka mempunyai mata tidak dipergunakannya untuk melihat , dan mereka mempunyai telinga tidak dipergunakannya untuk mendengar . Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.(Al ‘araf, 7:79)
Dan sebaliknya, jika manusia yang memanfaatkan segala potensinya, secara naluri kemanusiaan siapapun akan kagum, menyanjung dan memujinya.
Dengan bahasa yang berbeda, di dalam Al-Qur’an orang yang mempunyai kesadaran akan potensinya digolongkan dalam kategori orang yang bersyukur.
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati (akal), agar kamu bersyukur (An Nahl, 16:78)
Akal adalah alat analisis kehidupan. Sedang ke mana arah kerja akal? dan untuk siapa akal bekerja ?, maka manusia disertai dengan potensi naluri/insting (fitrah). Manusia dapat membuat rasionalisasi segala yang tidak rasional atau malah sebaliknya, tapi manusia punya kata pilihan utama (kebenaran) mana yang akan diambil dalam kehidupannya.
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (30:30).
Bisa saja manusia menipu jutaan manusia lainnya, tapi sebenarnya tidak ada kuasa untuk menipu dirinya sendiri. Itulah dimana keinginan manusia yang diakhiri oleh tindakannya membuat wajah kehidupan ini.
Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti kemauanmu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu 'cinta' kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus(Al hujurat, 49:7)

B. Harus ada Allah
Berdasarkan pengamatan hidup di dunia, dapat dilakukan introspeksi, siapa, apa dan mana yang benar-benar mempunyai nilai kebenaran yang berkualitas tinggi/tidak sedikitpun salah. Manusia sendiri yang mengklaim sebagai mahkluq yang paling pintar dan mulya diantara makhluq-makluq yang lain, ternyata tidak dapat dakatakan sebagai cermin sumber kebenaran. Terbukti dengan banyaknya klaim-klaim kebenaran versi kelompok ataupun individu pada kehidupan manusia, meskipun mereka membahas dan mempunyai landasan yang sama tentang sebuah kebenaran. Dengan kata yang sama, manusia tidak mempercayai kebenarannya sendiri sebagai kebenaran yang perlu dijadikan pedoman dan anutan bagi kehidupan manusia. Untuk itulah, manusia tidak layak untuk dijadikan sandaran atau pedoman kebenaran. Maka harus ada kebenaran yang ideal yang bersifat universal, ideal dan absolut. Sandaran semacam ini merupakan kebutuhan yang harus terpenuhi, karena kebenaran yang ideallah yang diinginkan manusia yang dapat memenuhi kebutuhan dan sebagai alat pemuas/untuk meraih kebahagiaan.
Proses pencarian dan pengamatan terhadap kebenaran yang mana yang merupakan sebuah parameter idealisme kebenaran?. Di sanalah harus disimpulkan bahwa sumber kebenaran tersebut harus merupakan entitas di luar kemampuan manusia sebagai makhluq dengan kualitas tertinggi. Berarti juga telah mengharuskan adanya sesuatu di luar eksistensi alam ini, karena manusia sudah tidak dipercaya oleh manusia sendiri untuk memegang peridikat pemilik kebenaran ideal.
Pengamatan seperti ini tidak harus kita teruskan dengan upaya individual untuk menangkap eksistensi dari idealisme kebenaran. Bisa kita amati dengan apa yang terjadi di alam ini, dengan melihat fenomena manusia dalam aktualisasinya mendapatkan kebenaran yang menurut kebanyakan manusia yang itu adalah kebenaran ideal. Fenomena manusia telah mengatakan bahwa kebenaran tersebut digambarkan dan disimbolkan dengan salah satu redaksi versi Indonesia adalah Tuhan. Yang kebetulah dalam redaksi umat Islam disebut sebagai Allah. Jadi Tuhanlah/Allah-lah yang kita cari sebagai rujukan segala sumber kebenaran.
Islam adalah agamaku sejak kecil, agama terbesar kedua di dunia. Ditinjau dari besar pengikurnya, maka tidak ada salahnya jika Islam yang aku anut sejak kecil menjadi awal pembuktian bahwa di dalamnya memang ada kebenaran-kebenaran ideal yang dimaksud. Dengan demikian Islam akan memberikan jawaban problem dasar kehidupan yang beberapa tahun aku cari. Jika yang terjadi adalah sebaliknya, Islam tidak sejalan dengan logika dan rasa dari kehidupan manusia, maka tidak ada salahnya untuk melanjutkan pencarian pada obyek-obyek selanjurnya yang telah diklaim manusia menjadi sumber segala kebenaran. Allah yang disebut-sebut sudah saatnya harus dbuktikan.

C. Penjelasan wahyu tentang Allah
Dalam keinginan dan kemampuan manusia untuk menginginkan kebenaran yang benar-benar benar adanya, maka perlu disadari juga kelemahan manusia dalam menjangkau sang/sesuatu kebenaran ideal mutlak tersebut. Karena keidealan sang kebenaran dan kerelatifan manusia, maka tidak mungkin manusia dapat menjangkau kebenaran mutlak (Allah). Dikarenakan manusia dengan keterbatasannya setelah mengakui kelemahan, kekurangan, (al insanu mahalul khatha wa nisya), maka tidak mungkin manusia dapat menjangkau kekuatan yang serba Maha/Allah. Manusia adalah materi dan Allah (x) materi atau bukan sesuatu yang kita ketahui, ada dan kita miliki. Manusia adalah nisbi dan Allah adalah absolute. Kalau ada atau bahkan sama seperti apa yang ada dalam dunia ini tentunya kita yakin bahwa ia bukan Allah yang kita maksud.
dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia (Al ikhlas, 112:4)
Di dalam kesadaran akan keterbatasan manusia memperoleh atau mencapai kebenaran Allah, maka upaya manusia dalam memperolehnya, tidak dapat dilalui dengan hanya mengandalkan potensi pribadinya (sesuai yang dimiliki manusia). Ijtihad yang dilakukan oleh manusia dengan cara apapun, tidak mungkin (sia-sia) dapat menjangkau esensi kebenaran (Tuhan) bila metode yang dilakukan adalah dengan meneropong/meraih lansung dimensi ketuhanan sebagai langkah pendekatan. Hal ini sama saja dengan tidak mengetahui atau menjadikan kebenaran tidak ideal sebagai landasan kehidupan.
Ini telah memunculkan problem baru bagi fitrah keHanifan manusia, karena fitrahnya dia merindukan kebenaran tatapi manusia tidak dapat meraih dalam kehidupannya. Dikarenakan kebenaran ideal tidak dapat dijangkau dengan upaya manusia secara sepihak, maka dari itu manusia membutuhkan intervensi/keterlibatan langsung dari Allah dengan keinginanNya untuk menjelaskan kebenaran yang Ia maksud. Kehadiran kebenaran ini harus ada dalam kehidupan/alam manusia dan bukan lagi merupakan kebenaran itu sendiri (Allah), karena yang membutuhkan adalah manusia. Intervensi ini sekaligus membuktikan dia yang Maha, Maha Rohman dan Rohim. Intervensi kasih sayang dari Tuhan inilah yang kemudian kita sebut sebagai Wahyu .
Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Qur'an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus (Asy syura, 42:51-52)
Dari wahyu inilah, yang berfungsi sebagai penuntun kehidupan manusia untuk menapaki kehidupan dalam memperoleh hakikat kehidupan sebagaimana fitrah mengatakan. Untuk merealisasikannya manusia harus bekerja keras, harus berani memperlajari “iqra’’ (Qs, 96:1) dan menginternalisasi dalam kehidupannya. Dikala manusia dengan potensi fitrah yang hanief menghendaki setiap tindak-tanduknya didasarkan atas kepercayaan yang benar-benar benar, maka (klaim pribadi saya), jika ada manusia yang mengatakan telah berbuat baik dengan kerangka keiklasan (tulus) dikerenakan hanya kepada Allah sedangkan ia tidak meyakini adanya wahyu, dapat dikatakan mereka mengingkari fitrah kemanusiaan yang hanief (mencintai kebenaran) atau dapat dikatakan dusta.

D. Fungsi Nabi
Wahyu tidak datang/ turun dan menjelaskan dengan sendirinya (mak byuk) atau Tuhan datang sendiri kepada keseluruhan manusia dalam menjelaskan keinginan-Nya (bukan berarti menurunkan kualitas Tuhan). Karena ke-Maha-an Allah-lah, maka Dia tidak hadir dengan sendirinya. Sehingga dalam penurunan wahyu diperlukan manusia (Nabi/rosul), sebagai jembatan/komunitator tentang pesan-pesan kebenaran.
Dan sesungguhnya Al Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin. Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan. Dengan bahasa Arab yang jelas. (Asy syurra’, 26:192-195)
Wahyu yang dikirimkan untuk manusia, maka utusannya (perantaranya) harus juga manusia, dan jelas bukan dianggap sebagai Tuhan. Hal ini sesuai dengan klaim manusia yang menduduki peran utama dilihat dari kualitas dan kemampuannya. Mustahil wahyu akan berfungsi jika perantara adalah makhluq diluar mausia. Manusia tidak akan pernah mempercayai wahyu apapun jika diturunkan kepada binatang, tumbuhan atau yang lain. karena mereka tidak mempunyai otoritas menyampaikan wasiat apapun kepada makhluq yang mempuyai kualitas di atasnya. Dan target dari komunikasi penyampaian kebenaran tidak akan tercapai.
Dan supaya aku membacakan Al Quraan. Maka barangsiapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya ia hanyalah mendapat petunjuk untuk dirinya, dan barangsiapa yang sesat maka katakanlah: "Sesungguhnya aku tidak lain hanyalah salah seorang pemberi peringatan" (An naml, 27:92).
Sesungguhnya telah ada pada Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu bagi orang yang mengharap Allah dan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (al Ahzab, 33:21).
Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui (saba’ , 34:28).
Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi (Al Fath, 48:28).
Selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (An nisa’ , 4:165).
Sesungguhnya Kami telah mengutusmu dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungjawaban) tentang penghuni-penghuni neraka(2:119).
Karena semua harus selaras dengan kepercayaan manusia, tentunya bukan sembarang manusia yang berhak mendapatkan wahyu. Sudah tentu siapa orangnya yang menjadi utusan (Nabi/rosul) adalah otoritas Tuhan untuk memilih. Bukan dari kehendak dari manusia, tapi kehendak Tuhan untuk menurunkan wahyuNya.
Dan kamu tidak pernah mengharap agar Al Qur'an diturunkan kepadamu (Muhammad), tetapi ia karena suatu rahmat yang besar dari Tuhanmu , sebab itu janganlah sekali-kali kamu menjadi penolong bagi orang-orang kafir (Al Qashash, 28:86).
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Qur'an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus (As-Syura, 42:52)
Maka bangunan kepercayaan yang benar untuk percaya kepada kebenaran yang mutlak (Allah), tidak hanya percaya kepada kebenaran wahyu, namun kita perlu percaya terhadap pembawanya (rasul/nabi). Mana mungkin manusia percaya Allah kalau tidak percaya wahyu. Mana mungkin percaya kepada wahyu kalau tidak percaya kepada Nabi.

*****
Aku sempat bingung dan memunculkan pertanyaan kembali, wahyu yang mana yang mengandung kadar kebenaran universal dan mutlak. Untuk membuktikan bahwa wahyu itu memang benar-benar dari Tuhan, satu-satunya jalan adalah memeriksanya dengan segala kemampuan yang dimiliki manusia dalam memutar otak dan menjalankan modal fitrah kemanusiaannya. Semua menjadi obyek kajian, meliputi kebenaran yang ada dalam wahyu, dan dari apa yang (Nabi/Rosul) perbuat sebagai percontohan (uswah) profile keidealan kehidupan manusia.
Kembalinya kita pada kepercayaan pada kebenaran akan mampu menganalisis sebagai bentuk macam versi kebenaran yang lahir di dunia. Pembuktian ini dapat dilakukan dengan pembuktian secara histories, ilmu pengetahuan, pengalaman dan bahkan secara intuisi. Disinilah letak derajat kemulyaan manusia jika dapat menggunakan segala potensi yang dimiliki. Berarti kebenaran yang tertanamkan dalam wahyu juga harus mendukung, menghargai, membenarkan atau bahkan mewajibkan akan penggunaan potensi kehidupan manusia. Dengan kata lain, wahyu harus mendorong manusia untuk berilmu dan mencintai ilmu.
Alquran dan sabda nabi juga tidak bertentangan dengan kaidah berfikir seperti ini. Allah memberikan apresiasi yang besar terhadap keinginan manusia untuk mencari dan membuktikan kebenaran yang ia yakini, termasuk dalam memahami ayat-ayat Allah.
(yarfaa’illahu ladzinaamanu minkum walladzinautul ‘ilman darajat(Qs,58:11),
Nabi juga mengatakan bahwa
Ilmu bukan menjadi komoditi yang haram, namun justru menjadi kewajiban bagi umat beragama (faridhah ‘ala kulli muslim). Sehingga kita tiada henti-hentinya sejak lahit sampai mati (minal mahdi ilal lahdi) untuk mencari pengetahuan (ilmu) walau sampai ke negeri cina (walau bissin). Untuk lebih jelasnya, bagaimana islam memandang Ilmu akan dibahasan dalam bab tersendiri di belakang. *********

E. Keberadaan malaikat
Sekarang kita lanjutkan dengan sedikit mengulang penjelasan di atas. Dikarenakan kebenaran ideal tidak dapat dijangkau dengan upaya manusia secara sepihak, maka manusia membutuhkan intervensi/keterlibatan langsung dari Allah dengan keinginanNya untuk menjelaskan kebenaran yang Ia maksud. Kehadiran kebenaran ini harus ada dalam kehidupan/alam manusia dan bukan lagi merupakan kebenaran itu sendiri (Allah), karena yang membutuhkan adalah manusia. Karena ke-idealan Allah dan ke-nisbian manusia, maka pasti ada jarak anatara mansia dengan Tuhannya. Keidealan yang dibutuhkan manusia bukan keidealan itu sendiri. Artinya, proses pemberian ke-idealan kebenaran (wahyu) kepada manusia, bukan hadirnya ke-idealan sendiri kepada manusia, tapi ada sesuatu kehendakNya yang memisahkan definisi manusia dengan ke-Nisbiannya dan Allah dengan KemutlakkanNya. Sesuatu itu disebut dalam Al-qur’an dengan malaikat.
Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. (Asy syura, 42:51)
Proses turunnya risalah Allah ke dunia adalah dengan melibatkan malaikat, sebagai perantara hubungan manusia dengan Tuhan harus menjadi bagian dari kepercayaan. Karena yang mempunyai inisiatif penuh dalam penurunan wahyu kepada manusia juga menjadi otoritasNya. Malaikat diciptakan dengan spesifikasi wilayah kerja tersendiri. Rosul tidak mendapatkan wahyu dengan cara komunikasi lansung dengan Tuhan, melainkan melalui perantara yaitu malaikat. Sehingga bangunan kepercayaan terhadap kebenaran adalah perlunya kepercayaan yang saling bersinergi yaitu percaya kepada Allah, Wahyu, malaikat (perantara kepada manusia) dan percaya kepada Nabi/Rosul (manusia utusannya) sebagai ujung tombak penyampai atau komunikator pada umat manusia.

F. Mempertahankan dan memupuk kepercayaan
Sesuatu yang dicari, dibutuhkan dan telah didapatkan oleh seseorang apalagi kebutuhan itu adalah kebutuhan yang paling mendasar bagi kehidupan setiap orang, maka tidak ada jalan lain kecuali upaya untuk mempertahankan dan memeliharanya yang semata-mata digunakan untuk mendapatkan semua makna kehidupan.
Kepercayaan yang telah ada dalam kehidupan manusia harus dipertahankan dan dipelihara dengan baik. Pemeliharaan ini untuk menjaga kualitas kemanusian, demi kebutuhan manusia yang paling mendasar dengan tujuan bahwa kegiatan kehidupan manusia selalu membawa keinginan untuk cenderung kepada yang hanief. Hal ini disesuaikan dengan kerangka menuju kebenaran mutlak (Allah) lewat penerjemahan dan Interpretasi terhadap wahyu (qouniyah dan qouliyah).
Pemeliharaan keimanan ada dua sisi, terkait dengan dua jenis keberadan wahyu Allah yaitu qouliyah dan qouniyah yang masing-masing mempuyai spesifikasi yakni qouliyah lebih pada kerangka etis spiritual dan qouniyah pada wilayah praksis matrealis. Disamping itu landasan utamanya adalah adanya dua dimensi manusia yaitu jasmani dan rohani, yang keduanya merasakan kehausan untuk selalu dipenuhi dengan kebutuhannya masing-masing.
Pemenuhan setiap sisi adalah keharusan dalam menjaga keseimbangan. Dua sisi tersebut adalah: pertama, untuk jasmani yang terkait dengan materi adalah prilaku yang mengatur interaksi dengan alam apakah mendapatkan, mengolah, memilihara baik cara atau tingkah laku, semua bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dalam sisi jasmani. Seorang bisa mendapatkan, mengolah, menikmati segala fasilitas alam, maka diperlukan bagaimana cara mendapatkan, memilih, menganalisa, mengolah dan memanfaatkan dari apa yang telah menjadi tujuannya. Kemampuan seseorang untuk memilih kualitas tertinggi dalam kehidupan hanya ditentukan oleh penguasaan ilmu/pengetahuan. Semakin tinggi ilmu/pengetahuan seseorang akan semakin bagus kehidupan orang tersebut, karena dia secara selektif tahu cara memilih, memanfaatkan, mengolah dan menikmati. Jadi untuk memelihara dan melestarikan keimanan adalah dengan tidak henti-hentinnya menambah ilmu/pengetahuan.
Kedua, untuk aspek rohani perlu adanya terapi untuk menenangkan jiwa. Hal ini dilakukan dengan kegiatan-kegiatan keagamaan (ritual)khusus. Lagi-lagi kebutuhan kepercayaan yang kita inginkan adalah benar-benar benar yang tidak lain hanya bersumber dari Tuhan. Sehingga menjadi otoritas penuh Tuhan yang tertuang di dalam wahyu untuk mengaturnya. Kita tidak dapat merubah bentuk ritual seenaknya. Tidak dapat tercapai dengan metodologi yang dirangkai sendiri, kalau tidak dituntun dengan informasi atau mekanisme dari Tuhan sendiri. Tidak salah jika kaidah fiqiyah mengatakan bahwa “asal dari ibadah adalah haram kecuali jika ada ketentuan yang mengaturnya”, sehingga ibadah yang kita lakukan benar-benar bersumber dariNya, karena Dia yang lebih tahu bagaimana metode untuk mendekatiNya. Wahyu mengatur bentuk ritual tersebut yang telah disesuaikan dengan kemampuan manusia (laayukallifullahu nafsan illa wus’aha) sehingga benar-benar akan menuju kepada kebenaran-Nya.
Di dalam Wahyu yang dimiliki Islam ada bermacam-macam, bentuk ritual tersebut dinamakan dengan Sholat, haji, puasa, ataupun zakat. Untuk itu semua adalah wajib dilakukan manusia untuk menghubungkan keinginan manusia yang tulus kepada pemilik kebenaran.

G. Arah keteguhan kepecayaan
Seoarang yang telah konsisten dengan kepercayaannya yaitu memegang teguh kebenaran sejati, maka dia akan dengan mudah mendapatkan kebahagiaan kehidupan yang didambakan. Cerminan dari orang yang telah melaksanakan kehidupan hanya dengan standart kebenaran, bukan fanatisme, kebiasaan, pengalaman, keinginan, kemauan, perintah, anjuran dsb, maka orang tersebut menjadi santun prilakunya baik berinteraksi dengan sesama atau dengan keseluruhan alam. Dia telah melibat suatu dari parameter subtansi makna kehidupan.
Dia tidak punya musuh selain kesalahan, kedholiman atau kemungkaran. Dia tidak punya musuh sejati dan kawan sejati terhadap siapapun dan apapun, karena yang ia lihat adalah siapa yang berbuat salah dan siapa yang berbuat benar. Siapa yang benar, maka bagi dia itulah yang perlu untuk diikuti dan didakwakan kepada orang lain. Dia tidak akan kaku dengan kebenaran yang ia miliki, karena dengan standart kebenaranya, dia mampu untuk meninggalkan kebenaran yang lama dengan mengambil kebenaran yang baru. Dia tidak akan lepas dengan kegiatan belajar, karena kesadaran dengan menyadari kebenaran yang dimiliki tidaklah bersifat mutlak dan masih banyak kebenaran-kebenaran yang baru yang lebih baik yang perlu dicari untuk meraih kualitas kehidupan yang lebih tinggi.
Pecinta kebenaran tidak akan pernah menyalahkan sebelum dia tau lebih dalam tentang kesalahan, yang tentunya dengan mengecek lansung kebenaran/kesalahan yang dimiliki orang lain tersebut. Dia menjadi seorang pemberani untuk merubah setiap kesalahan, karena kegiatannya hanyalah menegakkan kebenaran. Tentunya dia telah mengetahui dan menggunakan cara yang paling benar (karena landasan hidupnya hanya pada kebenaran), apakah dengan tangan, lisan atau hati/kebencian (dzikir/berdo’a) atau mempersiapkan strategi untuk memusnahkan setiap kejahatan. Dia tidak akan membuat kerusakan (fasik), karena yang dipilih adalah selalu yang paling benar. Dia selalu terbuka akan kritik dan saran, karena dia menyadari bahwa kebenaran yang ia miliki bukanlah kebenaran mutlak.
Pecinta kebenaran akan menjadi orang yang selalu optimis, karena dia selalu melihat didepannya ada kebaikan dan kebenaran yang tak ada putusnya. Dia tidak takut mati, karena kehidupan bukan untuk mempertahankan kehidupan atau untuk kematian, melainkan hanya untuk tegaknya kebenaran.
Dia terbuka dengan hadirnya ilmu-ilmu baru dan tidak meninggalkan yang lama, karena baginya semua dapat menjadi sumber kebenaran. Dia tidak menjadi liberalis, fundamentalis, nasionalis, kapitalis, sosialis, marxis, atau justru fundamentalisme liberal, yang semua fanatic dengan golongan atau alur pemikiran bukan pada kelapangan diri dan hati untuk menerima setiap kebenaran. Tapi dia suatu saat bisa menjadi liberalis, fundamentalis, nasionalis, kapitalis, sosialis, marxis, dll, karena melihat kebenaran padanya. Dia juga tidak selalu ilmiah atau mistis (ghoib), karena baginya keduanya ada dalam realitas kehidupan dan dapat dijadikan sumber kebenaran.Dia hanya fanatic dengan etnis kebenaran, bukan suku, bangsa, bahasa budaya dll.
Sebuah bayangan yang ideal memang gambaran di atas. Dari kumpulan-kumpulan individu-individu yang mempunyai kualitas seperti ini, maka akan dapat membentuk masyarakat yang madani dan Islami.


Untuk memberikan sedikit gambaran, diagram dibawah ini mungkin dapat membantu proses berfikir kita.


























Manusia dengan modal fitrahnya yang hanief dan didukung dengan keberadaan wahyu/ayat-ayat Allah, maka akan menjadi kualitas manusia yang unggul, bahkan dapat melebihi malaikat. Inilah kehidupan manusia ber-Tuhan. Hanya bersama Tuhan kehidupan akan jauh lebih indah.

tuhan mengatakan...

Betul, manusia menjadi manusia sejati dan lebih produktif ketika hidupnya dipenuhi dengan kerinduan akan tuhan semata. Masalahnya, sebelum menemukan tuhan yang "itu" (yang mana nih?) kita harus membongkar semua tuhan palsu dan tuhan ciptaan manusia hingga terdapat ruang kosong hingga suatu saat tuhanlah yang menemukan kita...Amin!

The Bitch mengatakan...

so you're back, om dodo :D

welcome back...

vagabond mengatakan...

ada yang berdakwah teramat panjang... menunjukkan betapa sulitnya agama menggambarkan tuhan. Lebih baik mencari tuhan yang lain (sambil liat2 list tuhan).